pengembangan bahasa anak

PROGRAM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA DALAM PEMEROLEHAN BAHASAN ANAK-ANAK



PENDAHULUAN
Pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia dalam pemerolehan bahasa dan disajikan ke dalam 2 kegiatan belajar. Kegiatan 1 dibahas tahap perkembangan dan pemerolehan bahasa lisan anak. Kegiatan belajar 2 diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa anak serta strategi yang ditempuhnya dalam mempelajari bahasa ibunya (BI).
Sebagai orang tua, dapat memberikan wawasan untuk memahami perkembangan bahasa anak dan membantunya memperoleh kemampuan bahasa secara lebih baik. Sebagai guru, pemahaman yangg baik mengenai pemerolehan bahasa anak, akan sangat membantu dalam menciptakan suasana pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan hakikat, tujuan, dan pengalaman belajar bahasa anak didik. Dengan mengembangkan pembelajaran bahasa seperti itu diharapkan proses pembelajaran akan berlangsung dengan menyenangkan dan mencapai hasil yang optimal.
Ken Goodman, seorang ahli pengajaran bahasa dari USA, menyatakan bahwa terdapat suatu teka-teki yang sulit dijawab berkenan denan belajar bahasa anak. Suatu teka-teki yang sulit dijawab berkenan dengan belajar bahasa anak. Suatu ketika, anak-anak tamapk mudah belajar bahasa, tetapi juga kadan-kadang kelihatannya sukar (1986). Kapankah anak-anak belajar bahasa dengan mudah atau sukar? Anak belajar di sekolah. Di rumah atau di lingkungan luar sekolah anak dapat belajar berbahasa seperti menyimak dan berbicara dalam waktu relatif singkat. Akan tetapi sewaktu mulai bersekolah, muncullah berbaai kesulitan yang kadang-kadang daat menyeretnya pada keadaan yang membosankan dan menfrustasikan. Penyebabnya banyak. Diantaranya karena guru dalam mengajar bahasa kurang memperhatikan :
1. Pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan berbahasa yang telah dimiliki anak sebelum bersekolah ; serta
2. Situasi, kebiasaan dan strategi belajar bahasa anak yang memungkinkannya menguasai bahasa dengan baik di luar sekolah (Ken Goodman 1986)



A. PENGERTIAN PEMEROLEHAN BAHASA
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal. Dengan kata lain, kegiatan pemerolehan bahasa ini ditandai oleh hal-hal berikut.
1. Berlangsung dalam situasi informal, tanpa beban, dan di luar sekolah.
2. Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-lembaga pendidikan seperti atau kursus.
3. Dilakukan tana sadar.
4. Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna.
Karektiristik pemerolehan bahasa di atas, serta uraian yang terdapat Kegiatan Belajar 2 akan memberikan jawaban mengapa anak begitu cepat menguasai bahasa ibunya. Pengetahuan tersebut dapat Anda manfaatkan untuk menciptakan pembelajaran bahasa di sekolah yang dapat Anda manfaatkan untuk menciptakan pembelajaran bahasa di sekolah yang dapat membantu anak mengalami dan memeroleh hasil belajar bahasa secara optimal.

B. BAHASA INDONESIA DALAM MEMPEROLEH BAHASA ANAK-ANAK
Berdasarkan pengamatan Anda, apakah anak-anak Indonesia dibesarkan dalam lingkungan satu bahasa atau lebih? Lalu, apakah bahasa Indonesia bagi mereka sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua?
Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan pengamatan Anda?
Sebenarnya, sampai saat ini masih sulit ditemukan kajian yang menyoroti secara khusus tipe-tipe pemerolehan bahasa anak Indonesia serta dalam lingkungan apa bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau kedua. Meskipun demikian, agar anda dapat memahami posisi bahasa Indoensia dalam pemerolehan bahasa anak, berikut ini disajikan gambaran umum tentang hal itu.

1. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Pertama
Bu Mariam, penutur Bahasa Sunda, menikah dengan Pak Didi, penutur Bahasa Sunda dan Jawa. Mereka hidup di kota Cirebon. Dalam berkomunikasi, masyarakat di sekitarnya menggunakan beberapa bahasa, yaitu bahasa Sunda, Bahasa Jawa Cirebon dan Bahasa Indonesia. Ketika mereka mempunyai anak, bahasa yang diperkenalkan dan dipergunakan berkomunikasi dengan anaknya, Bayu adalah Bahasa Indonesia. Akibatnya bahasa yang pertama kali dikenal dan dikuasai Bayu sejak bayi sampai disekolah adalah Bahasa Indonesia. Dengan demikian, Bahasa Indonesia bagi Bayu merupakan bahasa pertama.
Dengan kata lain, bahasa Indonesia disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama dikenal dan dikuasai anak sebagai sarana komunikasi verbalnya sejak dia bayi.
Jika kita amati, gejala seperti itu banyak kita jumpai pada saat ini, terutama pada keluarga yang tinggal di kota besar dan kota kecil. Hal itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
a. Perkawinan antar penutur bahasa yang berbeda. Masing-masing pihak tidak saling memahami bahasa daerah pasangannya.
b. Perkawinanan antar penutur bahasa daerah yang sama dengan situasi berikut ini.
1) Lingkungan sosial sekitar keluarga menggunakan bahasa indonesia sebagai media komunikasinya.
2) Lingkungan masyarakat sekitar menggunakan bahasa daerah yang tidak dikenal oleh keluarga itu (mungkin keluarga pendatang).
3) Lingkungan menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa keluarga itu. Oleh karena pertimbangan praktis tertentu maka bahaa yang digunakan dalam keluarga itu bahasa Indonesia.
c. Perkawinan antar penutur yang hanya menguasai bahasa indonesia.

2. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Kedua
Talib dilahirkan dan dibesarkan di Pamekasan, Madura. Ayah dan ibunya, seperti juga lingkungan masyarakatnya Bahasa Mandura sebagai media komunikasi dengannya. Dia menggunakan bahasa daerah itu dalam komunikasi kesehariannya. Sekalipun dia telah mengenal bahasa Indonesia radio dan telivisi, tetapi bahasa tersebut baru benar-benar digunakan dan dikuasainya ketika dia telah bersekolah.
Bagi Talib bahasa Madura adalah bahasa pertamanya (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya (B2). Bagi anak-anak yang tinggal di pedesaan, kemungkinan besar bahasa Indonesia merupakan bahasa keduanya.
Pada dasarnya pemerolehan 2 bahasa oleh seorang anak dapat terjadi dalam 2 cara, yaitu memperoleh bahasa secara serempak dan berurut.
Pemerolehan serempak 2 bahasa (simultaneous bilingual acquisition) terjadpa pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi) atau dalam masyarakat multilingual (menggunakan lebih dari 2 bahasa). Anak mengenal, mempelajari dan menguasai kedua bahasa secara bersamaan. Ukuran keserempakan tersebut, menurut De Hower (1995) adalah sampai usia 2 tahun.
Sebagai contoh Haqi lahir dan dibesarkan dalam 2 bahasa. Di rumah ayah ibu serta pembantunya berkomunikasi dengannya dalam bahasa sunda dan sesekali diselingi bahasa Indonesia. Masyarakat sekitar, Haqi termasuk teman-teman bermainnya, juga media telivisi yang sering ditontonnya, berbahasa Indonesia. Pada saat yang bersamaan, Haqi belajar dan mendapat masukan 1 bahasa sekaligus. Haqi pun menguasai dan secara bergantian menggunakan kedua bahasa itu dalam berkomunikasi keseharian. Lalu, apakah B1 dan B2 Haqi? Bagi Haqi, B1-Nya adalah bahasa Sunda karena bahasa itulah yang pertama kali dikenalnya dan B2-Nya adalah bahasa Indonesia.
Pemerolehan berurut 2 bahasa (successive bilingual acquisition) terjadi apabila anak menguasai dua bahasa dalam rentang wkatu yang relatif berjauhan. Sebagai contoh, Rizal dibesarkan dalam lingkungan monololingual (menggunakan 1 bahasa sebagai media pertuturannya) di daerah Ogan Komering, Sumatera Selatan. Sejak kecil ia hanya mempelajari dan menggunakan bahasa daerah itu sebagai media komunikasinya. Setelah masuk SD, barulah ia mempelajari dan menggunakan bahasa indonesia sebagai sarana berbahasanya. Itu pun hanya di lingkungan sekolahnya saja. Bagi Rizal, pemerolehan kedua bahasa itu terjadi secara beruntun, yakni bahasa daerah dahulu baru bahasa indonesia.

C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
Kemampuan berbahasa merupakan suatu potensi yang dimiliki semua anak manusia yang normal. Kemampuan itu perolehanya tanpa melalui pembelajaran khusus. Sangat menakjubkan ialah dalam waktu yang relatif singkat, anak sudah dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan sebelum bersekolah, ia telah mampu bertutur seperti orang dewasa untuk berbagai keperluan dan dalam bermacam situasi.
Jika kita amati, ternyata pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang lebih sempurna. Bagi anak, coleteh merupakan semacam latihan untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama-kelamaan dikaitkan dengan kebermanknaan bentuk bunyi yang diujarkannya (Darjowidjojo, 1995).
Selanjutnya, bagaimanakah proses perkembangan kemampuan berbicara anak? Untuk mempermudah Anda memahaminya, perkembangan bahasa anak itu akan disajikan dalam tahap-tahap berikut. Materi ini sebenarnya telah anda peroleh sewaktu Anda di SPG. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa anda dapat memahaminya dengan mudah.

1. Tahap Pralinguistik (Masa Meraban)
Pada tahao ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan anak belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu memang telah menyerupai vokal atau konsonan tertentu. Cobalah anda keseluruhan bunyi tersebut tidak mengacu pada kata dan makna tertentu. Cobalah anda perhatikan seorang bayi ketika mendekrut atau berceloteh! Adakah menyerupai kata-kata tertentu? Tidak, bukan! Oleh jarna itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut tahap pralinguistik!.
Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur 12 bulan.
a. Pada umur 0 – 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksi untuk menyatakan rasa lapar, sakti atau ketidaknyamanan yang menyebabkan anak menangis dan rewel, serta bunyi vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin sendawa, telanan (makanan), dan tegukan (menyusu atau minum). Umumnya bunyi itu seperti bunyi vokal dengan suara yang agak serak. Sekalipun bunyi-bunyi itu tidak bermakna secara bahasa, tetapi bunyi-bunyi itu merupakan bahan untuk tuturan selanjutnya.
b. Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyi-bunyi vokal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi ini biasanya muncul sebagai respon terhadap senyum atau ucapan ibunya atau orang lain.
c. Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi agak utuh dengan durasi (rentang waktu) yang lebih lama. Bunyi mirip konsonan atau mirip vokalnya lebih bervariasi. Konsonan nasal/m/n/sudah mulai muncul.
d. Pada umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh. Celotehnya berupa reduplikasi atau pengeluaran konsonan dan vokal yang sama, seperti/ba ba ba/, ma ma ma/, da da da/, vokal yang muncul adalah dasar /a/ dengan konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, g/, dan alveolar /t, d/ selanjutnya, celotehan reduplikasi ini berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju vokal /u/ dan /i/, dan konsonan frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai muncul (Crystal, 1987, strak, 1981, dalam Darjowidjojo, 1995, Mc. Neil, 1970).

2. Tahap Satu – Kata
Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada masa ini, anak menggunakan satu kata yang memiliki arti yang mewakili keseluruhan idenya. Tegasnya satu – kata mewakili satu atau bahkan lebih fase atau kalimat. Oleh karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis.
Contoh :
Versi Satu – Kata Versi Lengkap
– Mimi! (sambil menunjuk cangkirnya) – Minta (mau0 minum!
– Akut! (sambil menunjuk laba-laba) – Saya takut laba-laba!
– Takit! (sambil mengacungkan jarinya) – Jariku sakit!
Sebenarnya, tidak mudah menangkap makna kata yang diucapkan anak. Pada umumnya mitra komunikasi anak menafsirkan maksud tuturannya dengan sesuastu yang menyertai aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-linguistik lainnya, seperti gerak isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa begitu? Pertama, keterbatasan bahasa anak belum memungkinkan berbahasanya itu dengan ekspresi muka, gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya. Kedua, apa yang diucapkan anak adalah sesuastu yang paling menarik perhatiannya saja. Dengan demikian, tanpa mengerti konteks ucapan anak, kita agak kesulitan untuk memahami maksud tuturannya.
Kemudian, kata-kata apa yang diucapkan anak? Kata-kata yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dijarkabi dan dikuasainya. Kata-kata yang paling sering muncul yang bersifat keseharian dan terdapat di sekitarnya. Menurut Nelson (dalam Owens, 1984), kata-kata itu umumnya bekaitan dengan pemanggilan orang-orang sekitarnya, makanan, mainan, hewan, dan aktivitas rutinya.

3. Tahap Dua – Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada masa ini, kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat. Anak-anak mulai menggunakan 2 kata dalam berbicara. Tuturannya mulai bersifat telegrafik. Artinya, apa yang dituturkan anak hanyalah kata-kata yang penting saja, seperti kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Kata-kata yang tidak penting, seperti halnya kalau kita menulis telegram, dihilangkan.
Contoh :
Versi Dua Kata Versi Lengkap
– Mamah, makan! – Mama, saya mau makan
– Bapa, putuh! (sambil menunjuk) – Bapak, temboknya dipukul
dinding, bekas anak terbentur kepalanya)
– Ajar, bobo! – Fajar, mau tidur!
– Bapa, ana? – Bapak, mau pergi ke mana
– Mau ueh! – Saya may kueh!
Jika kita perhatikan tuturan anak tersebut, hanya kata-kata yang benar-benar penting yang muncul. Tidak ada dalam tuturan itu kata tugas (kata depan, kata sambung, kata penghubung0 dan imbuhan. Sementara itu, untuk mengacu kepada diri dan orang lain biasanya menggunakan nama diri dan gelaran (Bapak, ibu, dan Dede). Anak belum dapat menggunakan pronomina saya, aku, kamu, dia dan mereka.

4. Tahap Banyak – Kata
Fase ini berlangusng ketika anak berusia 3 – 5 tahun atau bahkan sampai mulai bersekolah. Pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan tata bahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata tetapi 3 kata atau lebih. Pada umur 5 – 6 tahun. Bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunakan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, teramsuk bercanda atau menghibur (Tomkins dan Hoskisoon, 1995).
Tahap-tahap perkembangan bahasa di atas, dilalui oleh semua anak di dunia ini, yang berbeda hanyalah muatan bahasanya sesuai dengan lingkungan bahasa tempat anak itu tinggal.
Pada tahap-tahap perkembangan bahasa di atas berkembang pula penguasaan mereka atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu terdiri atas subsistem berikut.
a. Fonologi, yaitu pengetahuan tentang pelafalan dan penggabungan bunyi-bunyi tersebut sebagai sesuatu yang bermakna.
b. Grametika (tata bahasa), yaitu pengetahuan tentang aturan pembentukan unsur tuturan.
c. Semantik leksikal (kosakata), yaitu pengetahuan tentan kata untuk mengacu kepada sesuatu hal.
d. Pragmatik, yaitu pengetahuan tentang penggunaan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan.
Sub-subsistem di atas diperoleh anak secara bersamaan dengan keterampilan berbahasanya itu sendiri. Tentu saja hal itu didapat anak tanpa di sadari.
Kemudian bagaimana perkembangan kemampuan menyimak anak dalam tuturan-tuturan orang lain?
Tampaknya, kita semua sepakat bahwa kemampuan anak dalam memahami tuturan muncul lebih awal dari pada kemampuan mengucapkan (igram, 1974). Coba, anda amati, anak-anak kecil sekitar anda!
Antara usia 2 – 4 bulan, bayi telah memahami dan merespon maksud suatu tuturan melalui nada suara yang berbeda, seperti marah, bujukan, hiburan atau permainan. Sekitar 6 bulan, anak mulai mengaitkan tuturan yang didengarnya dengan konteks yang menyertainya, seperti dah, tepuk tangan atau respon terhadap pertanyaan dan permintaan.
Dalam suatu studi terhadap delapan anak, ternyata kedelapan anak itu telah memahami 20 – 30 kata sebelum mereka dapat mengucapkan 10 kata. Dalam kasus ini ditemukan pula bahwa kemampuan memahami anak lebih cepat satu bulan sebelum mereka dapat mengucapkan kata pertamanya (Bendedict, 1979; Crystal, 1987; Owens, 1984).
Atas dasar itu pula, dapatlah kita pahami mengapa perkembangan kemamuan anak dalam memahami lebih cepat dari pada kemampuan mengucapkan. Anak, sebagai contoh, baru dapat mengucapkan ujaran kata-kata, tetapi ia dapat memahami kata atau kalimat barud dapat mengucapkan ujaran satu-kata, tetapi ia dapat memahami kata atau kalimat yang lebih panjang dari pada itu. Perhatikan contoh dialog seorang ibu dengan anaknya, Fajar yang bermuru 24 bulan.
Contoh :
Ibu : “Eh, Fajar mau minum susu, sayang?”
Fajar : “Enga!” (Enggak/tidak)
(Tiba-tiba datang tantenya dan memberi Fajar kue)
Tante : “Fajar, bilang apa sama Tante?”
Fajar : “Maacih!” (Terima kasih)
Tante : “Fajar, nanti main lagi sama Tante ke Ciputat, ya!”
Fajar : “Ya!”

Sekalipun demikian, anak hanya akan memperhatikan dan merespon tuturan orang lain akan diperhatikan apabila materi tuturan itu dalam wilayah pengetahuannya, dan digunakan dalam versi bahasa anak yang cenderung sederhana dan pelan. Apabila tidak, anak akan mengabaikannya.
































STRATEGI PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

Pada kegiatan belajar 1 kita telah mempelajari perkembangan pemerolehan bahasa lisan anak sejak bayi sampai usia pra-sekolah. Pada kegiatan belajar 2 ini, kita akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak serta cara yang mereka tempuh dalam mempelajari bahasa pertamanya, khususnya ragam bahasa lisan.

A. Faktor-Faktor Yang Memepngaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
Sungguh menakjubkan hanya dalam waktu sekitar 4 tahun anak-anak telah menguasai sistem B1-Nya. Penguasaan sistem bahasa itu telah memungkinkan mereka mampu memahami dan menciptakan tuturan atau kalimat-kalimat yang belum pernah diperdengarkan dan diucapkan sebelumnya. Sebagai orang tua, mungkin anda pernah bertanya-tanya mengapa anak-anak itu belajar dan menguasai B1-Nya begitu cepat.
Untuk itu, sebelum melanjutkan membaca, cobalah anda kerjakan pertanyaan berikut ini terlebih dahulu. Apabila anda dapat menjawab 80% dengan benar maka anda sebenarnya telah memiliki pengetahuan materi kegiatan belajar ini dengan baik. Silakan kerjakan selama 10 menit!
Tatkala kita mengamati perkembangan bahasa anak yang begitu pesat dan menakjubkan muncul pertanyaan di benak kita. Bagaimana anak bisa memperoleh kemamppuan berbahasa seperti itu? Apakah memang pembawaan anak dari sananya atau ada unsur-unsur lain yang memungkinkannya memiliki kemahiran berbahasa seperti itu?” Ada 2 persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimilikinya, serta dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu terdapat faktor-faktor penunjang yang merupakan penjabaran dari kedua hal diatas, yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.

1. Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemamuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994) menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu, anak dapat menercap sistem suastu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis, tata bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Dalam proses berbahasa, seseorang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada belahan otak sebelah kiri dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di mengontrol produksi atau penghasilan bahasa, seperti berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah kanan terdapat wilayah wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak itu terdapat wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan unsur fisik penghasil ujaran.
Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu, alur penerimaan dan penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut. Bahasa didengarkan dan dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu kemudian dialihkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan. Selanjutnya isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara fisik.

2. Faktor Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk mendegarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki kemampuan berbahasa. Mengapa demikian? Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam lingkungan yang menggunakan bahasa. Atas dasar itu maka anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan contoh atau model berbhasa, respon atau tanggapan, secara temah untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh, seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pemerolehan bahasa anak. Lalu, bagaimana kaitan lingkungan sosial dengan perangkat biologis yang telah dimiliki anak lahir? Apakah kalau unsur biologis anak normal masih tetap memerlukan lingkungan sosial untuk mendapatkan kemampuan berbahasanya?
Kaitan keduanya sangat erat, tak terpisahkan. Kehilangan salah satu dari keduanya akan mengakibatkan anak tidak mampu berbahasa. Jika disederhanakan piranti biologis adalah wadah atau alat maka lingkungan berperan memberi isi atau muatan. Apabila digambarkan maka bentuknya seperti berikut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa otak alat dengar dan alat ucap, memiliki peran dasar sangat penting. Gangguan pada salah satu dari ketiganya akan sangat menghambat bahasa anak. Lennerberg (1975 dalam Cahyono, 1995) membuktikannya melalui penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu, lemah mental, dan tnawicara.
Dari kajiannya mengenai anak-anak tunarungu, Lennerberg menemukan fakta berikut. Tiga belum setelah dilahirkan anak-anak tunarungu dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang sama seperti anak normal. Dari bulan keempat hingga bulan kedua belas, hanya sebagian bunyi yang mereka hasilkan sama dengan anak normal. Setelah itu, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan lebih terbatas dari pada bunyi-bunyi yang diproduksi anak yang berpendengaran normal.
Hasil pengajaran terhadap anak-anak tunarungu menunjukkan bahwa peluang mereka untuk belajar menggunakan suara dan alat ucapnya sangat kecil. Ketika mereka berusaha berbicara, kualitas suara mereka berubaha dengan tekanan yang kurang biak serta pula informasi yang tak terkendali.
Anak-anak lemah mental cenderung mengartikulasikan tuturannya secara lemah dengan gramatika yang banyak mengandung kesalham. Kesalahan itu kadang-kadang pembicarannya bahwa mereka kurang memahami apa yang disampaikannya dan topik pembicarannya kabur, kurang terarah.
Berdasarkan kajian Lennerberg, anak-anak tunarungu tidak dapat berceloteh dan menirukan kata. Mereka tidak dapat memiliki kemampuan mengartikulasikan atau membunyikan tuturannya secara normal. Hal ini disebabkan adanya gangguan alat ucap mereka. Meskipun demikian, mereka dapat memahami tuturan dengan relatif baik.
Demikianlah uraian mengenai peranan unsur biologis yang akibatnya lebih rendah terjadinya pemerolehan bahasa anak. Hambatan biologis yang akibatnya lebih rendah dalam pemilikan bahasa dapat anda amati pada anak-anak gagap, cadel, atau sengau.
Konsep lingkungan sosial di sini mengacu kepada berbagai perilaku berbahasa setiap individu, seperti orang tua, saudara, anggota masyarakat sekitar, dalam mendukung perkembangan bahasa anak. Dukungan dan keterlibatan sosial ini diperlukan anak. Inilah yang disebut Bruner (1983 dalam Santrock, 1994) sebagai sistem pendukung pemerolehan bahasa (langsung acquisition supprot system).
Kita semua tahu bawah pemakai bahasa yang baik itu harus memiliki dua hal. Pertama dia harus menguasai sistem atau aturan bahasa yang digunakannya. Kedua, dia juga harus memehami dan menguasai aturan sosial penggunaan bahsa itu. Kita akan menyebut kurang ajar apbila seorang anak berbahasa dengan gurunya menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawa sebayanya. Nah, apabila piranti biologis memungkinkan anak memahami sistem bahasanya maka lingkungan sosial memberikan kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan bahasa yang dimilikinya sehingga bahasanya berfungsi secara wajar.
Selanjutnya bagaimakanah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa? Banyak cara! Di antaranya adalah berikut ini.
a. Bahasa semang (motheresse) yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara dengan bayi anak kecil. Misalnya, “Napa chayang? Mau mimi, iya? Bentar, ya!”
b. Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda. Misalnya kalimat pernyataan menjadi kalimat pertanyaan. Efek parafase ini sangat menolong anak belajar bahasa. Oleh karena itu, orang dewasa sebaiknya membiarkan anak menunjukkan minat serta mengungkapkannya dalam bentuk komentar, demontrasi dan menjelaskan. Menurut Rice (Santrock, 1994), pendekatan direktif atau langsung sewaktu berkomunikasi dengan anak akan mengganggunya. Misalnya:
Anak : “Mammam!”
Ibu : “Oh, maem, chayang?” (Oh maka, sayang?)
c. Menegaskan kembali (echoing) yaitu mengulang apa yang dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
d. Memperluas (expanding) yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.
e. Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda. Bisa dalam bentuk benda sebenarnya atau benda tiruan (realia), gambar, permainan kata, dan sebagainya.
f. Penguatan (reinforcement) yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak. Misalnya, dengan memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
g. Pemodelan (modelling), yaitu contoh berbhasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa (Santrock, 1994; Benson, 1998).
Semakin kuat rangsangan dan dukungan sosial terhadap bahasa anak, akan semakin kaya pula masukan dan kemampuan berbahasanya. Sebaliknya, apabila dukungan sosial itu kurang atau negatif maka masukan bahasa anak pun akan sedikit. Dengan demikian, tingkat masukan bahasa yang diperoleh anak akan mempengaruhi tingkat perkembangan bahasanya.
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Selain faktor biologis dan sosial, ada unsur lain yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak-anak. Kedua faktor itu adalah intelegensi dan motivasi.

3. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesi ini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.

4. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi. Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya disebut motivasi ekstrinsik.

B. STRATEGI PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan masyarakat bahasa apa pun mereka hidup anak-anak hanya memerlukan waktu relatif sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam lingkungan bahasa ibunya (B1).
Sebenarnya strategi apa yang ditempuh anak-anak dalam belajar bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai itu. Padahal mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara khusus. Ternyata, untuk memperoleh kemampuan bahasa lisannya mereka melakukannya dengan berbagai cara seperti di bawah ini.

1. Mengingat
Mengapa memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, mencerap, mencium, melihat, dan mendengar sesuatu, memori anak menyimpangnya. Pancaindra itu sangat penting bagi anak dalam membangun pengetahuan tentang dunianya.
Pada setiap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunuyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesusatu yang dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama apabila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini, anak-anak mengingat kata-kata tentang sesusatu sekaligus berulang-ulang pula cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan tidak salah tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau hanya suku kata awal atau akhirnya saja. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak masih sedsang berkembang. Dia menyimpan kata yang dia dengar, yang dia diperlukan dalam memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya. Namun tingkat perkembangannya yang belum memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Oleh kareana itu, dalam berbahasa biasanya anak dibantu oleh ekspresi, gerak tangan atau menunjuk benda-benda tertentu. Inilah versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam berkomunikasi dengan anak biasanya orang tua atau orang dewasa menyederhanakan bahasanya. Penyerderhanaan itu diwujudkan dalam tuturan yang pelan, ekspresif, dan modifikasi kata yang mudah diingat dan diucapkan anak, seperti kata “pus” untuk kucing, “mimi” untuk minum, “mamam” atau “Ma’em” untuk makan, “bobo” tidur, dan “pipis” untuk kencing.

2. Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah peneriuan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tak dapat dipisahkan dasri strategi mengingat. Kemudian apakah peniruan yang dilakukan dalam belajar bahasa itu seperti beo? Apakah dia meniru bulat-bulat dan hanya sekedar mengulang kembali apa yang didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Sedikitnya ada 2 penyebab. Penyebab pertama, berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat ucap. Dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya. Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di suastu sisim secsara bertahap dia dapat memahami dan menggunakan suastu sistem bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan atau eksperimen dalam berbhasa . percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya berpindah pada tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya sulit bagi anak untuk meniru bulat-bulat tuturan orang dewasa. Mengapa? Sebab, apabila anak berkonsentrasi pada tuturan tersebut maka perkembangan kemampuan komunikasinya akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat terbatas (MaCaualay, 1980).
Oleh karena itu tak perlu heran apabila suatu ketika anda mendengar anak mampu memproduksi tuturan yang belum penrah anda dengar sebelumnya. Hal ini terjadi karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekedar menangkap kata-kata. Dia juga terutama karena mencerna prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan demikian, sifast peniruan anak cenderung bersifat dinamis dan kreatif.
Oleh karena strategi peniruan itu pula maka model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat mempengaruhi corak bahasa yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajarinya.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home